Jumat, 22 Januari 2010

Kamis, 21 Januari 2010

Hal Kecil Yang Kadang Terlupakan

Beberapa hari yang lalu saya mengalami kejadian yang cukup menggelitik perasaan saya. Bukan perkara besar, malah barangkali boleh dibilang sepele, yaitu perihal mengucap kata ‘terima kasih’. Sore itu perjalanan dari Kuningan menuju Sudirman saya tempuh dengan menumpang sebuah taksi yang sudah cukup memiliki nama di wilayah Jakarta. Taksi berhenti tepat di stasiun kereta Dukuh Atas, argo mencatat biaya sebesar Rp. 12.400,-.

Merasa tidak ada pecahan ribuan, terpaksa saya keluarkan satu lembar lima puluh ribuan yang langsung terulur ke arah si sopir seraya bertanya, “Ada kembalian tidak, Pak?” Sesaat melirik ke arah lembaran rupiah di tangan, si sopir bertanya “Kembalian berapa?” Sungguh, pertanyaan yang tidak cukup cantik untuk mengekspresikan harapan si sopir beroleh tip.

Apa dia tidak tahu harus mengembalikan berapa rupiah, pikir saya saat itu. “Lima belas ribu saja, Pak” jawab saya segera. Saya rasa cukup fair untuk ukuran kantong saya melakukan pembulatan tagihan menjadi Rp. 15.000,-. Sejurus kemudian tanpa mengucapkan terima kasih dan menoleh ke arah saya untuk sekadar berbasa-basi sekalipun, si sopir mengulurkan kembalian sebesar Rp. 35.000,-.

Terlepas dari ikhlas atau tidak ikhlas memerkarakan sejumlah tip sebesar Rp. 2.600,-, saya dibuat heran dengan perilaku si sopir. Kenapa tidak ada kata terima kasih yang terucap? Terlalu kecilkah tip yang saya berikan? Atau, memang sedemikian sulit untuk mengucap terima kasih? Atau memang kata ini terlalu sepele untuk diucapkan?

Kata terima kasih bersama dengan teman-temannya seperti kata maaf, tolong, silakan, mohon, bagaimana jika..., bisa saya…, dapatkah..., mari saya..., merupakan contoh deretan magic words atau kata-kata ajaib yang tampaknya biasa, namun sesungguhnya memiliki dampak besar jika diucapkan kepada si penerima kata.

Mengucap terima kasih bagi saya memiliki makna perwujudan rasa syukur kepada sang Mahapemberi atas sesuatu yang diberikan melalui tangan manusia yang dipilih-Nya. Bentuk pemberian dalam hal ini bisa bervariasi; informasi, jawaban, hadiah, jabatan, kenaikkan gaji, jasa antar atau sekadar titipan pesan. Demikian juga bagi si penerima kata, walaupun terkadang tampak sebagai formalitaslantaran kerap diucapkandisadari atau tidak ucapan ini membawa dampak positif bagi si penerima. Energi positif akan tersalur menyertai kata-kata ajaib ini, dan berikutnya, siklus memberi dan menerima akan terus berputar.

Ada kebiasaan unik dari salah satu kantor tempat saya pernah bekerja dulu. Dari posisi manajer hingga office boy, setiap kali menutup telepon selalu berucap ‘thank you, yah…!’ dengan intonasi yang sama dan khas menurut saya. Tidak jelas siapa yang memulai, namun saya percaya pengucapan kata ajaib ini tentu diawali oleh seseorang, kemudian menular kepada followers lainnya. Satu bukti bahwa kebiasaan mengucap magic word dapat ditularkan.

Mengucapkan kata ajaib ‘maaf’ misalnya, belum tentu si pengucap telah melakukan kesalahan. Kata maaf dalam hal ini berfungsi sebagai penetralisir suatu interaksi yang tengah membara. Bagi pekerja di bidang service tentu sangat akrab dengan kata ini. Maaf terbukti cukup jitu meredakan emosi pelanggan dengan hard complaint. Tentunya, customer tetaplah customer, kadang-kadang salah pun belum tentu meminta maaf. Justru pihak pemberi service-lah yang harus memasukkan kata maaf dalam bahasa layanannya. Lain halnya dengan maaf sebagai pernyataan telah berbuat salah. Tentu saja mengucap ‘maaf’ dalam hal ini perlu keberanian dan kematangan tingkat tinggi. Hanya gentleman sejati yang mampu melakukannya.

Ketika memasuki area gedung perkantoran, security guard di garda depan, tentu akan meminta tanda pengenal Anda. Cermati, apakah semuanya menggunakan kata ‘maaf’ terlebih dahulu? “Maaf Pak, boleh saya pinjam ID card-nya?” Bagi sebagian orang yang terburu-buru memasuki gedung tentu tidak akan menemukan nilai rasa ‘lebih’ ketika mendapat ungkapan tersebut. Bandingkan dengan sapaan “ID card-nya, Pak!”, mana yang lebih santun dan mana yang membawa energi positif? Mana yang membuat kita merasa nyaman?

Tampaknya magic words tidak serta merta diucapkan begitu saja. Setiap kata yang terlontar tentunya memiliki harapan membawa kebaikan bagi penerima kata. Hal lain yang perlu mendapat perhatian pada saat mengucap magic words adalah bagaimana bahasa non-verbal dan intonasi suara yang digunakan.

Anda dapat membayangkan, melontarkan kata ajaib ‘maaf’ dengan posisi tubuh membelakangi si penerima kata, apakah akan tetap menjadi kata ajaib? Adakah kesantunan di sana? Atau “Tolong ya, kamu hubungi si vendor sekarang juga!” Mengucap ‘tolong’ dengan nada suara tinggi, apakah menjamin muatan magic-nya tidak berubah menjadi bentuk menyuruh? Dapat Anda bayangkan reaksi penerima kata tersebut saat itu. Minta tolong ya minta tolong, tapi jangan nyuruh begini dong…! Mungkin, demikian kira-kira ekspresi yang timbul.

Kata silakan untuk mempersilakan duduk misalnya, apakah akan menimbulkan kenyamanan jika dilakukan tanpa memandang atau melakukan eye contact dengan si penerima kata? Terlebih tanpa mengalihkan pandangan kita dari layar komputer misalnya?

Magic words bukan masalah besar, namun mengucapkannya akan membawa dampak besar bagi penerima kata. Di mana pun kita berinteraksi dengan orang lain, semestinya magic words tidak perlu lepas dari jalinan kalimat yang terucap dari bibir. Bagaimana menggunakannya pun tentu memerlukan kaidah pengucapan yang tidak semata-mata keluar dari bibir saja. Namun, itu juga perlu memerhatikan posisi tubuh, gerak tubuh, kontak mata, dan nada suara pada saat mengeluarkan kata ajaib tersebut. Seperti kutipan dari Erik Peterson dan Virginia Greene berikut: “Believe it or not, what you say to your customers and how you says it make an impact.”[